Perbankan gencar melakukan digitalisasi dalam beberapa tahun terakhir untuk memberikan kemudahan bagi nasabah dalam bertransaksi dan sekaligus meningkatkan efisiensi operasional bisnis bank.
Digitalisasi tak hanya dilakukan bank umum, tetapi juga digalakkan bank perekonomian rakyat (BPR). Kendala modal dan biaya investasi yang selama ini jadi tantangan bagi BPR dalam melakukan transformasi digital, kini sudah bisa diatasi. Pasalnya, BPR sudah bisa berkolaborasi dengan bank umum yang punya modal dan kapasitas teknologi yang lebih besar.
Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong pengembangan industri BPR dengan salah satunya fokus pada digitalisasi. Apalagi, transformasi digital BPR Sudah tertuang dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), dimana BPR bisa bekerja sama dengan Lembaga Jasa Keuangan Lain (LJK).
Direktur Pengaturan Kelembagaan, Produk dan Aktivitas Perbankan Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perbankan OJK, Indah Iramadhini mengatakan, upaya OJK memperkuat data saing BPR di era digitalisasi adalah dengan mendorong inovasi produk dan layanan berbasis digital serta mendorong kolaborasi dan konektivitas dengan lembaga lain.
“OJK mendukung kerja sama BPR dengan fintech lending, sehingga membuka peluang penyaluran kredit secara channeling maupun referral melalui fintech lending. Selain itu, peluang perluasan jangkauan penyaluran kredit melalui sindikasi antar BPR,” kata dia dalam seminar bertajuk Sinergi Bank Umum dan BPR Dalam Digitalisasi Layanan Perbankan, Jumat (23/6).
Indah membeberkan beberapa peluang transformasi digital BPR. Pertama, digitalisasi kegiatan usaha BPR yang mencakup digitalisasi proses pembukaan rekening tabungan atau deposito melalui website/mobile-apps dan kerja sama dengan pihak lain, pengajuan kredit secara online, serta pemanfaatan credit scoring dalam analisa pengajuan kredit dan loan originating system (LOS).
Kemudian, dalam transfer dana yang dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain, seperti fintech payment, Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dan bank umum sebagai bank induk pada GPN). Peluang selanjutnya yaitu, digitalisasi dalam bidang pembayaran. Hal ini meliputi Payment point melalui kerja sama dengan biller, pembayaran berbasis QRIS melalui kerja sama dengan penyelenggara QRIS, serta agen pemasar dari penerbit uang elektronik.
“Terakhir, seperti lainnya yaitu pengembangan fitur mobile banking melalui financial planning untuk nasabah, dan pengembangan super-apps BPR dengan menggandeng ekosistem/value chain terkait,” pungkasnya.
Sejumlah bank umum telah melakukan isiatif sinergi dengan BPR agar nasabah bank cilik itu bisa melakukan transaksi secara digital. Salah satunya adalah Bank Mandiri.
Lewat kerjasama bank induk, Bank Mandiri menghubungkan BPR dengan jaringan GPN, dan kerja sama Non-Bank Induk di mana BPR dapat mengakses Mandiri Virtual Account, API Retail, Co-branding & Topup Emoney, dan QRIS.
SEVP Micro & Consumer Finance Bank Mandiri, Josephus K. Triprakoso mengatakan, Bank Mandiri sebagai bank induk dari 13 BPR terus mendukung transformasi digital BPR. Kerjasama bank induk ini bertujuan untuk dapat menciptakan benefit dan memudahkan nasabah dalam bertransaksi. Hal ini juga sesuai dengan PBI No. 19/B/PB/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).
“Melalui kerjasama Bank Induk, nasabah BPR dapat melakukan transaksi tarik tunai, cek saldo, transfer melalui ATM maupun mobile banking dengan tujuan ke bank umum ataupun sebaliknya,” jelas Josephus.
Roadmap kerjasama Bank Induk setelah kartu ATM dan Mobile Banking adalah kartu debit dan Issuer QRIS (Subject to Approval Regulator). Josephus bilang kerjasama ini khusus bagi BPR yang sudah memiliki izin kartu ATM/ mesin ATM/Mobile Banking.
Dengan layanan Bank Induk, keuntungan bagi BPR adalah mereka dapat terhubung dengan bank-bank dalam jaringan GPN dan mengurangi proses yang dilakukan secara manual sehingga layanan lebih efektif dan efisien. Selanjutnya menambah potensi pendapatan dari fee-based income transaksi, memberi kemudahan akses bagi nasabah BPR bertransaksi elektronik sebagai bagian peningkatan layanan, meningkatkan daya saing BPR, serta peningkatan dana pihak ketiga (DPK).
Vice President of Product SPE Solution, Rio Agustra Anjany mengatakan, transformasi digital harus menjadi fokus para pelaku perbankan, baik bank umum maupun BPR. Pasalnya, pengguna layanan keuangan mulai didominasi masyarakat yang melek teknologi dan pemerintah juga terus mendorong transformasi digital di berbagai sektor.
“Dari 270,20 juta jiwa, terdapat 25,87% kaum milenial dan 27,94% Gen Z. Mereka semakin ke sini makin tech heavy. Kelompok tersebut dalam kesehariannya tak lepas dari teknologi. Oleh karenanya, digitalisasi akan memudahkan mereka dalam mendapatkan layanan keuangan,” jelas Rio.
Di sisi lain, digitalisasi perbankan juga bertujuan mendorong para pelaku usaha ikut bertransformasi digital. Saat ini, mayoritas pelaku usaha segmen usaha mikro dan kecil masih mengandalkan transaksi pembayaran tunai, sekitar 98,6% atau sebanyak 58,92 juta.
Untuk menjawab kebutuhan dukungan teknologi BPR, SPE Solution hadir mendukung digitalisasi perbankan lewat bank fasilitator. Ini berfungsi untuk menghubungkan bisnis yang ingin menggunakan berbagai produk dan layanan dari bank menjadi lebih mudah baik dari sisi akses hingga implementasinya dalam bisnis.
Adapun produk teknololgi perbankan dihadirkan di antaranya Bank Validator, Virtual Account, Fund Transfer, Direct Debit, RDL (Rekening Dana Lender), BI Fast (Bank Indonesia Fast Payment), Integrasi KYC (Know Your Customer), dan Cash Withdrawal.
Industri BPR memang memiliki peran vital untuk pengembangan perekonomian masyarakat rural di Indonesia. Namun, bank di kelompok ini masih hambatan untuk berkembang.
Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Tedy Alamsyah mengatakan, hambatannya tidak hanya dari internal tetapi juga dari eksternal.
Dari eksternal, tantangan yang dihadapi antara lain dari nasabah, infrastruktur di daerah, regulasi, adanya kompetisi, serta risiko terkait dengan IT. Sementara dari sisi internal, ada tantangan permodalan, pengembangan teknologi, kuantitas dan kualitas SDM terbatas, serta penerapan GCG dan manajemen risiko yang belum optimal.
Di sisi nasabah misalnya, literasi nasabah terkait produk keuangan, khususnya di daerah, masih belum memadai. Kondisi ini juga diperparah dengan adanya keterbatasan pengetahuan terkait teknologi digital.
Sementara infrastruktur internet di sebagian daerah di Indonesia belum memadai. Padahal, infrastruktur internet berperan vital dalam pengembangan layanan digital para BPR. “Kondisi ini lalu semakin diperparah dengan semakin sukarnya industri BPR dalam mendapatkan talenta-talenta unggul untuk bidang IT,” jelas Tedy.
Perbarindo bersama Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) pun terus memperkuat sinergi untuk implementasi Undang-Undang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan bagi BPR/BPRS. Melalui penguatan UU P2SK ini diharapkan terjadi perubahan dalam peningkatan kapasitas bisnis BPR dan BPRS.
sumber: https://keuangan.kontan.co.id/news/kolaborasi-bank-umum-dan-bpr-harus-diperkuat-di-era-digitalisasi